d. Kopi=Doping?
Dosis kafein yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan adalah bila lebih dari 500 mg kafein perhari yang setara dengan 4-5 gelas kopi instan. Kelebihan kafein yang menggganggu kesehatan antara lain berupa sakit kepala, pegal otot, sulit tidur dan banyak buang air kecil.
Endang menyebutkan dalam artikelnya yang berjudul Efek Kafein, “bahwa kafein juga bisa berperan sebagai doping”. Pasalnya, masuknya kafein ke tubuh sekitar 3 sampai 5 miligram/kilogram sebelum olahraga terbukti meningkatkan stamina. Pemberian 400 miligram kafein dengan membagi dosis atas 200 miligram 3 jam sebelum pertandingan olahraga, dan diikuti satu jam kemudian sebanyak 200 miligram akan meningkatkan performance. “Penggunaan lebih dari 6 mg/kg, jumlah yang ke luar melalui urine termasuk kriteria doping. Maka tidak dianjurkan minum kafein dalam dosis tinggi.
C. Mengapa Menggunakan Doping
Tak perlu bertanya kepada para pelaku, kita bisa menduga bahwa prestasi, gengsi, ambisi, bonus, uang, ketenaran, hiruk pikuk tepukan dan puja puji adalah jawaban mengapa seorang atlet menggunakan doping. Bisa jadi atlet hanyalah alat dari ambisi terselubung sebuah institusi induk organisasi, atau siapapun yang berada di balik layar, atau bahkan sebuah negara. Siapa yang dapat mengetahuinya ?
Sejauh ini, jika seorang olahragawan dicurigai dan pada pemeriksaan berikutnya benar-benar terbukti menggunakan Doping, maka dialah terdakwa utama, mungkin ada kambing hitam yang ikut berperan namun luput dari jeratan sanksi. Atau, tak jarang pula olahragawan tersebut memang pengguna doping sejati yang merancangnya secara sistematis demi sebuah prestasi.
Kita memaklumi, banyak negara menjadikan olahraga bak sebuah industri, melibatkan uang, melibatkan berbagai pihak dan kepentingan. Di sisi lain, sajian olahraga menjadi makin menarik, penuh pesona, mampu menyedot perhatian berjuta pasang mata, menciptakan kelompok-kelompok para fans, melecut gairah, menggugah histeria. Kadang memicu pertengkaran, perkelahian atau bahkan nyawapun jadi tumbal. Untuk itulah para olahragawan (dan para ofisial) dituntut selalu tampil prima untuk meraih impian, yakni kemenangan dan prestasi.
Tak ada yang salah ketika “kemenangan”, “gengsi” dan prestasi dikumandangkan. Namun upaya ke arah itu sepantasnya menggunakan cara-cara jujur dengan menjunjung tinggi nilai sportivitas sebagai “ruh” olah raga itu sendiri. Tentu dengan latihan tekun, teratur, terukur, sistematis dengan memanfaatkan teknologi terkini sejauh tidak melanggar ketentuan Induk Organisai Olahraga dan tidak merugikan kesehatan.
Selain hal tersebut diatas, sebab-sebab atlet melakukan doping juga dikarenakan oleh :
1) Atlet tidak mengerti/tidak mau mengerti akan bahaya dari
Doping.
2) Keinginan pribadi si atlit untuk menang dengan cara apapun.
3) Rangsangan hadiah apabila ia menang (segi komersiel).
4) Si atlet merasa yakin bahwa obat yang mereka minum
adalah baru dan tidak dapat dideteksi dalam air seninya.
Untuk mengurangi dan menghindari doping jalan yang dapat ditempuh untuk adalah dengan cara :
1) Penyebarluasan pengertian tentang efek buruk doping bagi
tubuh.
2) Memberikan sanksi-sanksi yang sangat berat bagi para pemakainya.
D. Hubungan antara Prestasi dan Sportivitas
Masih teringat jelas dalam pikiran kita, baru-baru ini seorang ratu atletik dari negeri Paman Sam dihukum 6 bulan karena keterlibatannya dengan doping dan dinilai mencemari nilai-nilai sportivitas dalam olah raga. Jika diruntut ke belakang, makin banyaklah daftar nama atlet terkenal yang terlibat Doping dan berakhir dengan sanksi. Bantahan atlet ataupun pembelaan dari para ofisial tak dapat melindungi si atlet dari jeratan hukum berdasarkan hasil pemeriksaan.
Seorang atlet ternama yang melakukan doping secara tidak langsung telah membohongi banyak publik. Apabila ia melakukan doping berarti ia tidak percaya akan kemampuan yang dimilikinya, Ia akan merasa tidak nyaman dan merasa kemampuannya terus menurun apabila tidak mengonsumsi suplemen atau obat-obatan. Atlet yang melakukan doping berarti tela merusak citra olahraga dan tidak menjunjung sportivitas. Apakah kemenangan dengan cara yang tidak jujur rasanya puas dan bangga bila dibandingkan dengan kemenangan yang bersih dan jujur? Atlet yang melakukan doping kurang menyadari akan sportivitas dan tidak menjunjung via olahraga.
Apabila seorang atlet ingin diakui dan berprestasi maka ia harus berlatih dengan giat dan tekun serta bersaing dengan jujur tanpa doping. Karena doping hanya akan menejerumuskan dan merusak tubuh serta bila ketahuan menggunakan doping maka akan menanggung malu dan mendapatkan hukuman dari pihak yang berwenang yaitu WADA ( World Anti Doping Agency ), sebuah lembaga yang khusus menangani doping.
E. Peran Pemerintah dalam Menanggulangi Doping
Banyak sekali upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah guna menangani kasus doping di Indonesia. Jakarata, Kompas – Sebagai upaya untuk menjaga kemurnian olahraga dan nilai-nila olahraga dari tindakan yang merusak citra olahraga, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) membentuk Lembaga Anti Doping Indonesia, Jumat 6 Agustus 2004 di Jakarta. Lembaga tersebut independen dan terdiri atas para profesional, seperti dokter dan ahli hukum.
LADI merupakan tindak lanjut Indonesia dari konvensi dan deklarasi antidoping dalam olahraga, 3-5 Maret 2003 di Kopenhagen, Denmark, yang diwajibkan World Anti-Doping Agency (WADA). Dalam hal ini LADI tidak memiliki wewenang untuk menjatuhakan sanksi kepada atlet yang terbukti positif doping, LADI hanya memberikan analisis sampel, sedang sanksi diberikan oleh induk olahraga yang bersangkutan. Bagi atlet yang positif doping, WADA menjatuhkan sanksi berupa dua tahu skorsing sehingga atlet tesebut tidak boleh berkompetisi sama sekali selama jangka waktu tersebut. Jika dia untuk kedua kalinya kedapatan doping lagi, maka WADA menjatuhkan sanksi serupa dengan yang pertama. Akan tetapi, jika terbukti positif doping sekali lagi atlet tersebut dilarang bertanding seumur hidup. “Hal itu lebih ringan daripada sanksi IOC sebelumnya, yaitu sanksi larangan bertanding plus denda ribuan dolar AS,” kata Cahyo Adi (Kompas, 7 Agustus 2004).
sumber : http://ariftenis.wordpress.com dan http://kompas.com
Dosis kafein yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan adalah bila lebih dari 500 mg kafein perhari yang setara dengan 4-5 gelas kopi instan. Kelebihan kafein yang menggganggu kesehatan antara lain berupa sakit kepala, pegal otot, sulit tidur dan banyak buang air kecil.
Endang menyebutkan dalam artikelnya yang berjudul Efek Kafein, “bahwa kafein juga bisa berperan sebagai doping”. Pasalnya, masuknya kafein ke tubuh sekitar 3 sampai 5 miligram/kilogram sebelum olahraga terbukti meningkatkan stamina. Pemberian 400 miligram kafein dengan membagi dosis atas 200 miligram 3 jam sebelum pertandingan olahraga, dan diikuti satu jam kemudian sebanyak 200 miligram akan meningkatkan performance. “Penggunaan lebih dari 6 mg/kg, jumlah yang ke luar melalui urine termasuk kriteria doping. Maka tidak dianjurkan minum kafein dalam dosis tinggi.
C. Mengapa Menggunakan Doping
Tak perlu bertanya kepada para pelaku, kita bisa menduga bahwa prestasi, gengsi, ambisi, bonus, uang, ketenaran, hiruk pikuk tepukan dan puja puji adalah jawaban mengapa seorang atlet menggunakan doping. Bisa jadi atlet hanyalah alat dari ambisi terselubung sebuah institusi induk organisasi, atau siapapun yang berada di balik layar, atau bahkan sebuah negara. Siapa yang dapat mengetahuinya ?
Sejauh ini, jika seorang olahragawan dicurigai dan pada pemeriksaan berikutnya benar-benar terbukti menggunakan Doping, maka dialah terdakwa utama, mungkin ada kambing hitam yang ikut berperan namun luput dari jeratan sanksi. Atau, tak jarang pula olahragawan tersebut memang pengguna doping sejati yang merancangnya secara sistematis demi sebuah prestasi.
Kita memaklumi, banyak negara menjadikan olahraga bak sebuah industri, melibatkan uang, melibatkan berbagai pihak dan kepentingan. Di sisi lain, sajian olahraga menjadi makin menarik, penuh pesona, mampu menyedot perhatian berjuta pasang mata, menciptakan kelompok-kelompok para fans, melecut gairah, menggugah histeria. Kadang memicu pertengkaran, perkelahian atau bahkan nyawapun jadi tumbal. Untuk itulah para olahragawan (dan para ofisial) dituntut selalu tampil prima untuk meraih impian, yakni kemenangan dan prestasi.
Tak ada yang salah ketika “kemenangan”, “gengsi” dan prestasi dikumandangkan. Namun upaya ke arah itu sepantasnya menggunakan cara-cara jujur dengan menjunjung tinggi nilai sportivitas sebagai “ruh” olah raga itu sendiri. Tentu dengan latihan tekun, teratur, terukur, sistematis dengan memanfaatkan teknologi terkini sejauh tidak melanggar ketentuan Induk Organisai Olahraga dan tidak merugikan kesehatan.
Selain hal tersebut diatas, sebab-sebab atlet melakukan doping juga dikarenakan oleh :
1) Atlet tidak mengerti/tidak mau mengerti akan bahaya dari
Doping.
2) Keinginan pribadi si atlit untuk menang dengan cara apapun.
3) Rangsangan hadiah apabila ia menang (segi komersiel).
4) Si atlet merasa yakin bahwa obat yang mereka minum
adalah baru dan tidak dapat dideteksi dalam air seninya.
Untuk mengurangi dan menghindari doping jalan yang dapat ditempuh untuk adalah dengan cara :
1) Penyebarluasan pengertian tentang efek buruk doping bagi
tubuh.
2) Memberikan sanksi-sanksi yang sangat berat bagi para pemakainya.
D. Hubungan antara Prestasi dan Sportivitas
Masih teringat jelas dalam pikiran kita, baru-baru ini seorang ratu atletik dari negeri Paman Sam dihukum 6 bulan karena keterlibatannya dengan doping dan dinilai mencemari nilai-nilai sportivitas dalam olah raga. Jika diruntut ke belakang, makin banyaklah daftar nama atlet terkenal yang terlibat Doping dan berakhir dengan sanksi. Bantahan atlet ataupun pembelaan dari para ofisial tak dapat melindungi si atlet dari jeratan hukum berdasarkan hasil pemeriksaan.
Seorang atlet ternama yang melakukan doping secara tidak langsung telah membohongi banyak publik. Apabila ia melakukan doping berarti ia tidak percaya akan kemampuan yang dimilikinya, Ia akan merasa tidak nyaman dan merasa kemampuannya terus menurun apabila tidak mengonsumsi suplemen atau obat-obatan. Atlet yang melakukan doping berarti tela merusak citra olahraga dan tidak menjunjung sportivitas. Apakah kemenangan dengan cara yang tidak jujur rasanya puas dan bangga bila dibandingkan dengan kemenangan yang bersih dan jujur? Atlet yang melakukan doping kurang menyadari akan sportivitas dan tidak menjunjung via olahraga.
Apabila seorang atlet ingin diakui dan berprestasi maka ia harus berlatih dengan giat dan tekun serta bersaing dengan jujur tanpa doping. Karena doping hanya akan menejerumuskan dan merusak tubuh serta bila ketahuan menggunakan doping maka akan menanggung malu dan mendapatkan hukuman dari pihak yang berwenang yaitu WADA ( World Anti Doping Agency ), sebuah lembaga yang khusus menangani doping.
E. Peran Pemerintah dalam Menanggulangi Doping
Banyak sekali upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah guna menangani kasus doping di Indonesia. Jakarata, Kompas – Sebagai upaya untuk menjaga kemurnian olahraga dan nilai-nila olahraga dari tindakan yang merusak citra olahraga, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) membentuk Lembaga Anti Doping Indonesia, Jumat 6 Agustus 2004 di Jakarta. Lembaga tersebut independen dan terdiri atas para profesional, seperti dokter dan ahli hukum.
LADI merupakan tindak lanjut Indonesia dari konvensi dan deklarasi antidoping dalam olahraga, 3-5 Maret 2003 di Kopenhagen, Denmark, yang diwajibkan World Anti-Doping Agency (WADA). Dalam hal ini LADI tidak memiliki wewenang untuk menjatuhakan sanksi kepada atlet yang terbukti positif doping, LADI hanya memberikan analisis sampel, sedang sanksi diberikan oleh induk olahraga yang bersangkutan. Bagi atlet yang positif doping, WADA menjatuhkan sanksi berupa dua tahu skorsing sehingga atlet tesebut tidak boleh berkompetisi sama sekali selama jangka waktu tersebut. Jika dia untuk kedua kalinya kedapatan doping lagi, maka WADA menjatuhkan sanksi serupa dengan yang pertama. Akan tetapi, jika terbukti positif doping sekali lagi atlet tersebut dilarang bertanding seumur hidup. “Hal itu lebih ringan daripada sanksi IOC sebelumnya, yaitu sanksi larangan bertanding plus denda ribuan dolar AS,” kata Cahyo Adi (Kompas, 7 Agustus 2004).
sumber : http://ariftenis.wordpress.com dan http://kompas.com
3 komentar:
terima kasih kawan info kesehatannya dan memang harus hati hati untuk seorang atlet kalo mau kompetisi ya ! apalagi menjurus ke soal doping ..bikin repot donk nantinya
para atlet harus berusaha semaksimal mungkin tanpa tergoda menggunakan doping
Trims niy uda kunjungan ke blog saya.....
BTW kafeein emang membuat tubuh menjadi ketagihan.....
Salam kenal n link anda sudah saya pasang di blog saya.....
Posting Komentar